Kantor saya punya kebiasaan aneh unik. Setiap beberapa tahun sekali, selalu memindahkan karyawannya. Pindahnya gak main-main, mulai dari kota kecil yang sering mati lampu sampai ke kota besar yang macet dan langganan banjir.
Dari ujung barat ke ujung timur Indonesia. Ada teman saya yang sudah merasakan lima pulau besar di Indonesia. Saya baru pernah di Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.
Jangan ditanya gimana rasanya. Campur aduk pokoknya. Ada senengnya, ada sedihnya. Serulah. Awalnya saya agak parno kalau dimutasi. Tapi lama kelamaan biasa juga.
Di manapun ditugaskan, saya berusaha untuk betah. Meski tinggal di kota yang biaya hidupnya mahal, sepi, gak ada hiburan atau di kota besar yang penuh dengan pusat keramaian.
Karna menurut saya, yang bikin betah atau seneng itu bukan kondisi kota, tapi hati kita. Mau di mana pun, kalau hati kita masih ngedumel, gak mau berdamai dengan diri sendiri, akan sulit menemukan bahagia.
Memang gak mudah sih, tapi mengeluh malah memperparah keadaan. Ngeluh boleh asal gak kelamaan dan keterusan. Wajarlah kalau itu terjadi di masa adaptasi.
Biasanya yang saya lakukan bila pindah di sebuah kota, pertama adalah ikhlas menerima. Yakin sepenuh hati ini bagian dari skenario Illahi.
Berikutnya adalah fokus. Kalau raga sudah di situ, pikiran juga harus di situ. Sadar penuh hadir utuh. Jangan dibiarkan mengembara kemana-mana, ingat kampung terus, gak move on.
Biar semakin betah, saya selalu mengajak keluarga kemanapun ditugaskan. Ini sih pilihan. Tapi buat saya, keluarga adalah sumber energi yang tak pernah habis. Masing-masing punya pertimbangan soal hal ini.
Nah kalau sudah betah, pasti sedih deh kalau dipindah lagi. Seperti yang saya rasakan sekarang ini. Lima tahun tinggal di Palu, membuat jiwa dan raga saya menyatu dengan kota ini. Alam, budaya, masyarakat, teman serta sahabat yang ada di sini, benar-benar luar biasa.
Saya sempat mau nangis-nangis manja, pas denger dimutasi lagi. Tapi saya tahan, malu kalau ketahuan teman-teman. Serius ini. Soalnya mutasi ini penuh drama. Ditungguin lama gak muncul-muncul, begitu dicuekin nongol bikin kaget.
Tapi ya gimana lagi, ini sudah jalan hidup saya, merantau dari desa ke desa. Barangkali rumah saya adalah perjalanan itu sendiri. Mungkin Tuhan sedang memberi saya kisah baru yang lebih menakjubkan.
Saya hanya terus melangkah dan berusaha, sisanya biar Tuhan yang mengatur. Menghilangkan segala kegelisahan akan tujuan, mencoba menikmati petualangan ini.
Saya percaya, jalan hidup memang jauh dan melingkar-lingkar. Kita tak akan pernah tahu apa yang sedang menunggu di balik tikungan. Mungkin sebuah kejutan, barangkali hanya hujan yang kepagian. Namun jangan berputus harap.
Terima kasih Palu, telah menghadirkan berjuta kisah dan gemuruh di jiwa. Tak ada yang pergi dari hati, semua kan jadi kenangan indah dan rindu yang tak berkesudahan. Aku pamit, doakan semuanya lancar ya…