Memilih Pasangan

Pasangan yang kita pilih akan menentukan bagaimana kehidupan selanjutnya. Jika dapat yang baik, setidaknya separuh kebahagiaan ada di genggaman. Kalau dapat yang buruk, bersiaplah berkawan dengan prahara.

Tentu saja tiap orang punya kriteria yang berbeda untuk menemukan belahan jiwanya.

Gambar dari IG @ bro_danang

Anak muda usia duapuluhan awal –yang gairah asmaranya sangat membara dan egonya tinggi– pasti maunya dapet paket lengkap. Detail banget.

Harus sedap dipandang mata, gak malu-maluin kalau diajak ke kondangan, body proporsional, gak seperti gapura selamat datang, tinggi semampai, bukan penganut bumi datar, kalau habis mandi handuk gak ditaruh di atas kasur, bisa masang galon dan LPG, preferensi politik sama, gak merokok, IP lebih dari 2.75, diajak ngobrol nyambung, dari keluarga baik-baik, penghasilan minimal 30 juta dan bukan Gemini.

Sementara mereka yang usia tigapuluhan, gak muluk-muluk lagi. Cukuplah baik, setia, penyayang dan punya kerjaan. Empat puluhan ke atas beda lagi, yang penting cocok dan ada yang mau aja deh.

Yang menikah di umur tiga puluhan, kebanyakan dapat pasangan yang dulunya teman SMA, teman kuliah, teman magang atau dikenalin keluarga.

Jika mencintai karena kecantikan dan kemolekan tubuh, akan selalu ada yang body-nya lebih bagus dari si dia. Jika memilihnya hanya karna kekayaannya, percayalah yang kita butuhkan tak sebanyak itu. Dunia dan seisinya, tak kan pernah memuaskan kita.

Lantas apa tolok ukur yang tepat untuk memilih pasangan? Kalau versi saya sih sebagai seorang muslim, agama menjadi pertimbangan utama. Ibadah formalnya bagus, akhlaknya pun terpuji. Ini tentang kesolehan dan keelokan hati. Setelah itu, boleh deh nambahin kriteria lainnya. Boleh kok milih yang cantik. Setidaknya cantik menurutmu.

Tapi ya tetep harus realistis dan sadar diri. Ngaca. Kalau standarnya tinggi banget, coba dipikir lagi deh kira-kira ada gak yang seperti itu. Mau gak orangnya sama kita, pantes gak dia buat kita. Dalam Islam, inilah yang disebut konsep sekufu, setara.

Ada beberapa value yang menjadi perhatian saya dalam memilih pasangan. Pertama, pinter. Gak harus punya gelar S2, dari kampus ternama. Gak gitu juga. Pinter menurut saya lebih dari itu. Ini tentang kemampuan dan kecerdasan dalam menghadapi lika-liku kehidupan. Pinter cari duit dan ngatur duit, pinter nyenengin pasangan dan mertua, pinter bergaul, pinter membawa diri serta pinter mengatasi konflik.

Value berikutnya adalah tentang sikap mental yang tahan banting, gak mudah menyerah, mau diajak hidup susah berjuang bersama. Memperjuangkan cinta, memperjuangkan impian dan harapan.

Soalnya setelah nikah, bukan berarti sudah selesai. Justru ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang.

Menikah memang indah, tapi tetep saja ada onak dan duri yang harus dihadapi. Mulai urusan finansial, karir pasangan, pendidikan anak, menghadapi puber kedua, melawan kebosanan, mengatasi krisis psikologis, menjaga hubungan dengan saudara, ipar maupun dengan tetangga. Pelik banget. Perlu saling mendukung dan saling menguatkan, agar semua rintangan bisa dilewati.

Yang jadi masalah adalah bagaimana kita tahu bahwa dia adalah yang terbaik buat kita. Gak mau dong kita beli kucing dalam karung.

Yang pacaran bertahun-tahun aja bisa dapat zonk, ketipu. Pas udah nikah mulai ketahuan semua belangnya.

Kepribadian orang memang susah ditebak. Tapi kita bisa menguliknya dari lingkungan pertemanannya, bagaimana tanggung jawabnya terhadap pekerjaan serta bagaimana ia memperlakukan keluarganya. Ini urusan teknis banget. Pinter-pinternya kita aja lah.

Kita bisa minta bantuan orang tua, teman atau saudara untuk memberi masukan. Dan yang tak kalah penting adalah berdoa kepada Yang Maha Kuasa, agar kita diberi petunjuk. Shalat istikharah. Biasanya akan muncul kemantapan hati.

Dan pada akhirnya, kita harus mengakui dan menerima dengan lapang dada bahwa tak ada manusia yang sempurna. Masing-masing kita punya kekurangan. Sadari ini agar tidak demanding pada pasangan.

Pernikahan tak hanya tentang siapa pasangan kita, tapi juga tentang apa yang kita lakukan untuk pasangan kita.

Andil kita dalam membina keluarga sangat menentukan akan menjadi seperti apa pasangan kita. Ibarat membeli tanaman hias yang indah dan menawan, jika tak dirawat dengan baik, disiram, dipupuk; maka akan layu, menguning dan mati.

Begitu juga dengan pasangan hidup. Apakah setelah menikah dengan kita, ia menjadi lebih bahagia. Apakah ia tumbuh menjadi pribadi yang makin baik, makin dewasa dan matang, makin rajin beribadah serta makin bertanggung jawab.

Ini yang harus kita perjuangkan. Masing-masing harus berupaya memberikan yang terbaik untuk pasangan. Agar cinta makin bersemi indah, agar hari-hari yang dilalui makin penuh berkah dan bernilai ibadah.

Tabik.

Sohiban Dengan Lawan Jenis

Idealnya, pasangan kita adalah sahabat terbaik kita. Diajak ngobrol nyambung, asyik buat curhat, kompak, ngangenin dan selalu nyenengin.

Namun nyatanya tak semua orang bisa seperti itu. Ada pria yang justru lebih betah ngobrol dengan wanita lain dibanding dengan istrinya. Biasanya sih pria paruh baya yang sedang puber. Ganjen. Ngakunya sahabatan, padahal TTM. Teman tapi mesra modus. Ngarepnya jadi friend with benefit.

Read More

Teman Hidup

Bener milih istri, maka separuh hidup kita akan benar. Tak percaya? Perhatikan, dibalik lelaki yang korupsi selalu ada wanita yang tamak akan duniawi. Di balik pria yang jujur, ada wanita yang berbudi luhur.

Masalahnya tak mudah mendapatkan istri yang cantik, seksi, rambut hitam lurus, pinter, bisa masak, anak orang kaya pula. Kriteria yang terlalu sempurna sehingga susah ditemukan. Baca Selengkapnya