Rumah Dulu Atau Nikah Dulu?

Gambar dari Pixabay

Jika ada pertanyaan seperti itu, jawaban saya adalah menikah dulu. Mengapa? Karena sudah terlanjur kejadian 😂

Idealnya sebelum nikah punya penghasilan gede, punya rumah dan kendaraan. Mapan banget dah. Tapi sepertinya itu mimpi yang terlalu sempurna buat saya.

Sebagai fresh graduate yang baru kerja, berat bagi saya untuk mewujudkan semuanya. Saya lebih memilih untuk menikah. Secara usia, sudah matang, punya penghasilan dan yang paling penting ada yang mau sama saya. Maka tak ada alasan untuk menundanya. Bismillah, diniatkan ibadah, semoga berkah. Soal rumah, bisa dipikir sambil jalan.

“Bersama belahan jiwa, tak ada persoalan yang tak bisa diselesaikan bersama” prinsip saya kala itu.

Namun ternyata, semua tak seindah harapan. Banyak yang harus dipikirkan setelah menikah. Bayar kontrakan, beli susu anak, belanja bulanan, tiket mudik ke kampung halaman dan segala tetek bengek lainnya. Impian untuk memiliki rumah harus bertarung dengan kebutuhan hidup lainnya.

Tiap tahun belum tentu ada kenaikan penghasilan, namun harga rumah naiknya ugal-ugalan. Ditambah dengan belum adanya aturan pembatasan kepemilikan properti. Ini bikin orang kaya yang kelebihan duit memborong rumah dan tanah kaplingan, merebut pasar kaum menengah.

Selain karna harga yang mahal, ada beberapa alasan lain mengapa seseorang belum punya rumah. Diantaranya adalah karena belum nemu yang sesuai selera. Biasanya ini karna mempertimbangkan lokasi, jarak dan juga lingkungan.

Ada beberapa pertanyaan yang sering menghantuia saat akan meminang rumah impian. Milih tinggal di perkampungan penduduk atau di cluster one gate system tengah kota, kawasan rawan banjir atau tidak, tempat jin buang anak apa gak, trus nanti tetangganya seperti apa?

Tinggal di mana saja, peluang ketemu tetangga yang julid, suka buang sampah sembarangan, parkir kendaraan seenaknya, siram-siram jalanan pakai air got, nyetel musik sampai malam, pokoknya yang ya gitu deh; akan selalu ada.

Berikutnya karna gak bisa ngatur duit. Penghasilan sebenarnya cukup, namun gaya hidup terlalu tinggi. Duit larinya buat senang-senang aja gak ada prioritas hidup.

Betapa pun banyak kendala, memiliki rumah adalah impian yang harus tetap diperjuangkan, meski harus bercucuran peluh dan air mata. Kalau udah punya tempat berteduh yang tetap, hati rasanya lebih tenang. Gak kepikiran untuk ngontrak seumur hidup.

Sembari berusaha nambahin saldo tabungan, saya mulai ngobrol serius sama istri, mikirin mau homebase di mana, nanti pengen punya rumah seperti apa, bangun sendiri atau beli.

Buat kami, tak ada tempat sebaik dan senyaman rumah. Oleh sebab itu bukan hanya fisik rumah yang diutamakan, namun isinya juga. Harus penuh cinta dan kehangatan.

Ada beberapa kriteria rumah idaman versi kami. Yang pertama adalah lokasinya tidak jauh dari tempat kerja. Maksimal 30 menit lah. Lebih dari itu, gak deh. Bakalan capek dan tua di jalan. Tak ada lagi kesempatan untuk bercengkerama dengan keluarga. Tahu-tahu anak udah gede aja.

Gak bisa bayangin berangkat kerja sebelum matahari terbit dan pulang ke rumah habis magrib, dengan durasi perjalanan lebih dari dua jam pulang pergi. Dan entah mengapa hal ini dianggap normal oleh khalayak.

Makanya paling enak tinggal di kota kecil yang gak desa-desa banget seperti Ngawi, Tulungagung, Salatiga, Klaten. Fasilitas lengkap, aksesnya juga oke.

Gak ada macet, udara bersih, langit biru dan ke mana-mana dekat. Dekat ATM, dekat Indomart. Ke sekolahan, ke pasar, ke fasilitas kesehatan dan ke kantor pemerintahan bisa dijangkau dengan mudah.

Di kota mana pun, selama berkumpul bersama orang-orang terkasih, tentu akan terasa sangat menyenangkan

Berikutnya, rumah idaman kami adalah rumah yang kualitas bangunannya kuat, strukturnya gak kaleng-kaleng. Karna ini menyangkut keselamatan penghuninya. Apa jadinya jika rumah kualitas proyek, mau masang paku di tembok, malah runtuh dindingnya.

Selain itu rumah juga harus punya ventilasi yang baik, cukup kena sinar matahari dan punya ruangan yang lega, bersih dan rapi. Gak harus gede banget, yang penting gak berasa penuh sesak untuk beraktivitas. Ada kamar tidur, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, kamar mandi dan ruang servis. Sedikit taman kecil atau kolam ikan, tentu akan membuat suasana rumah menjadi sejuk dan teduh.

Semua kriteria tentang rumah yang kami idamkan tersebut kami masukkan ke wishlist. Dan hamdalah, setelah sekian purnama akhirnya bisa terwujud. Semua ini atas perkenan dan pertolongan Yang Maha Kuasa.

Apa saja yang kita impikan, akan disiapkan menjadi kenyataan di masa depan. Maka impikanlah, terutama kebaikan.

Balik lagi ke pertanyaan di awal, mau nikah dulu atau punya rumah dulu, terserah saja. Ikuti kata hatimu.

Semoga selalu ada jalan dan kemudahan untuk memiliki tempat tinggal yang layak dan pasangan yang baik.

Tabik

Beneran Sudah Bahagia?

Ada pertanyaan yang cukup menarik ketika saya mengikuti self assessment tingkat kesejahteraan mental:

“Apakah kehidupan Anda terasa membahagiakan?”

Jadi mikir, bahagia yang seperti apa nih? Kalau bahagia itu harus punya aset miliaran, sering jalan-jalan ke luar negeri, punya rumah mewah, kendaraan mahal, jabatan tinggi dan gak pernah ada kesedihan; saya mundur deh.

“Set point (level) kebahagiaan tiap orang berbeda. Ada yang diajak ke angkringan, pesan mie rebus dan gorengan aja udah puas. Namun ada yang mesti ke cafe instagramable, pesan menu kekiniaan agar bisa bahagia

Tapi kalau bahagia itu makan apa aja terasa enak, tidur nyenyak, gak banyak pikiran, tenang, tenteram, gak menyesali masa lalu, gak cemas dan khawatir; saya berani tunjuk tangan.

“Betapa pun penuh lika-liku, saya tetap menganggap kehidupan ini membahagiakan”

Masalah yang kerap datang memang membuat hati terluka. Namun saya percaya, segala luka tersebut adalah jalan cahaya untuk masuk ke jiwa.

Ketika saya diberi sakit, diberi kekurangan, merasakan kegagalan dan berbagai cobaan hidup; sejatinya itu adalah cara agar saya berhenti sejenak, merenung, sadar dan mendekat pada Sang Maha Kuasa.

“Hubungan yang baik dengan Sang Pencipta, hidup dalam kebajikan dan segala sesuatu yang mendekatkan kita pada Tuhan adalah jalan kebahagiaan”

Memang tidak mudah untuk tetap tegar saat sedang terpuruk. Fitrahnya manusia seperti itu. Bahagia jika keinginannya terpenuhi, kecewa di saat harapan tak sesuai kenyataan.

Maka agar bahagia mudah menghampiri, kita harus tahu diri dan tahu batasan, ngerti kapan waktunya harus injak gas, kapan harus nge-rem. Bisa juga dengan melatih diri ini untuk merayakan kemenangan-kemenangan kecil setiap hari. Kita bisa menulis hal-hal menyenangkan yang kita alami pada hari itu. Hal-hal kecil yang dicatat dan diingat akan membuat kita menghargai yang selama ini lupa untuk kita syukuri.

“Semakin tak mudah tersakiti dengan nasib buruk, kita akan semakin mudah untuk bahagia”

Selain itu kita juga berupaya untuk menata hati, ikhlas, sabar dan berprasangka baik. Hindari sikap perfeksionis, menyimpan dendam, menyesali masa lalu, membandingkan diri dan selalu ingin lebih bahagia dari orang lain.

“Butuh pengalaman getir agar lebih bisa menghargai makna kebahagiaan”

Sepanjang gak bikin syarat yang aneh-aneh, insya allah bisa kok kita ketemu bahagia. Dan satu lagi yang perlu diingat, kebahagiaan dan kesedihan itu silih berganti.

“Tidak ada manusia yang lepas dari kesulitan, yang membedakan adalah bagaimana cara mengatasinya. Ada yang mampu melewati, ada pula yang gagal”

Jadi kalau lagi bahagia luapkan secukupnya, kalau lagi sedih gak perlu berlama-lama. Karna makin pekat malam, itu artinya fajar kian dekat.

Melepas Anak Kuliah

Tahun ini anak saya masuk kuliah. Ia diterima di salah satu kampus negeri di kota Malang. Saya bersyukur, semuanya berjalan dengan lancar. Mulai dari milih jurusan, ngurus pendaftaran hingga masuk asrama kampus.

Hamdalah, banyak kemudahan yang saya temui. Semua ini tak lepas dari bantuan pihak sekolah, guru-guru, saudara dan handai taulan yang turut mendukung anak saya melanjutkkan studi.

Berkaca dari pengalaman tersebut, saya mencoba merangkum beberapa hal yang perlu disiapkan ketika anak-anak akan mememasuki dunia perkuliahan.

1. SIAPKAN DANA

Sebenarnya bukan saat kuliah saja kita sebagai orang tua harus nyiapain ini. Masuk TK, SD pun, tetep butuh. Nominalnya relatif, bisa mahal atau murah. Mau murah pun, jika gak punya duit ya bakalan bingung. Mahal pun, akan lebih terasa ringan jika disiapkan jauh-jauh hari. Kalau dadakan, bakalan pusing deh, mau nyari kemana.

Oleh sebab itu, ada baiknya jika kita lebih bijak dalam melakukan pengeluaran dan mulai menabung. Mau dalam bentuk tabungan pendidikan, beli saham, beli sapi dan kambing, atau inves tanah; terserah. Intinya kita harus membangun kesadaran dan lebih peduli dengan pendidikan anak kita.

Ada beberapa orang tua yang tidak mendukung anaknya untuk melanjutkan pendidikan dengan alasan terkendala biaya. Padahal ketika dicek, motor di ruang tamu ada tiga, kursi di rumah modelnya seperti sofa di sinetron Indosiar, langanan wifi, hand phone canggih, dan punya burung murai. Ini sebenarnya masalah prioritas.

Biaya kuliah memang mahal, namun jangan pernah takut kesulitan untuk pendidikan anak. Inilah jihadnya orang tua, siap jungkir balik demi kebaikan anak-anak. Insya allah kita akan dimampukan. Jalan rizki akan terbuka, jika semangat dan kemauan kita besar, serta setia pada kebenaran.

2. KUMPULKAN INFORMASI

Ketika duduk di bangku SMA, saya menggali lebih dalam bakat dan minatnya, nanyain nanti mau ambil jurusan apa dan kuliah di mana, menganalisa nilai raportnya, mencari tahu kuota dan jumlah pendaftar dan segala seluk beluk tentang dunia kampus. Orang tua juga harus update informasi, biar nyambung ketika diskusi dengan anak.

Selain itu saya juga memberi kebebasan padanya untuk memilih, tak pernah memaksakan.

Terkadang anak jadi ajang balas dendam orang tua untuk mewujudkan ambisi dan cita-citanya. Saya tak kecewa ketika ia tak berminat masuk sekolah kedinasan seperti bapaknya. Saya tak mengharuskan anak-anak mengikuti jejak orangtuanya. Saya ingin ia menjadi dirinya sendiri, mengikuti panggilan jiwanya, menjalani pilihan hidupnya dengan bahagia.

3. SIAPKAN MENTAL & TATA HATI

Tingkat polah anak-anak terkadang mengejutkan orang tuanya. Dan kita harus siap dengan itu.

Bagaimana jika pilihan anak tak sejalan dengan harapan kita? Orang tua ingin anaknya jadi dokter, anaknya malah milih jurusan filsafat.

Bagaimana jika anak memilih universitas yang jaraknya ribuan kilometer dari rumah? Siapkah kita melepasnya?

Atau bagaimana jika anak tak punya kemauan untuk melanjutan kuliah, lebih tertarik untuk jualan pop ice.

Saat mengantarnya masuk asrama, saya mencoba untuk tegar, janji gak bakalan nangis. Namun tetap saja, perpisahan dengan anak gadis selalu emosional.

Pelukannya menyiratkan ia tak ingin ditinggalkan. Isak tangisnya menggambarkan rasa cinta pada orang tuanya. Suasana pun makin sendu.

Sejatinya saya pun tak ingin berpisah dengannya. Namun inilah hidup, hal-hal baik harus diperjuangkan. Kami orangtuanya harus ikhlas, melepasnya terbang tinggi, bertarung menaklukkan dunia demi meraih impiannya. Anak pun juga harus siap, perihnya menahan rindu, bersusah payah belajar demi hari esok yang lebih baik. Perpisahan ini tak akan lama. Ini adalah cara Tuhan agar kami saling menguatkan dan saling mendukung.

Semoga kita semua diberi kekuatan untuk mengantarkan anak-anak kita menjadi generasi yang cerdas dan bertakwa.

Etika Bermedia Sosial

Beberapa kali saya menemukan orang yang nampak kalem di dunia nyata; namun ketika di media sosial berubah jadi gahar, beringas dan mudah tersulut emosi. Apa saja dikomentarin, semuanya di-nyinyir-in.

Mungkin orang tersebut punya kepedulian yang tinggi terhadap sebuah isu, ingin meluapkan kekecewaannya; atau memang seorang buzzerp yang suka cari ribut. Dan mohon maaf nih ya, tak sedikit yang kelakuannya seperti itu adalah ibu-ibu.

Wanita memang cenderung lebih ekspresif dibanding pria; bahkan suka kebablasan dalam mengungkapkan sesuatu. Lihat saja story ibu-ibu, apa saja di-konten-in. Mulai jalan-jalan, piknik, acara kantor, ngantri minyak goreng, masalah rumah tangga; hingga nerima hampers dari seseorang.

Tentang hampers, ini juga bikin saya heran. Sejak kapan kalau kita menerima bingkisan dari orang lain harus distatusin. Siapa yang memulai budaya seperti ini.

Tanpa disadari, ada sisi lain dari hampers yang bisa memicu over thinking dan perasaan membandingkan diri. Terkadang muncul pertanyaan: hampers-ku kok gak di-share di medsos ya; kenapa cuma aku yang gak dapat hampers; duh sedih nih aku gak punya duit buat balas hampers dari dia.

Sepertinya, kebiasaan tersebut mulai muncul saat ada media sosial. Padahal, jika ingin memberi ucapan selamat, melakukan selebrasi maupun mengungkapkan rasa terima kasih kepada seseorang; maka lakukanlah di ruang privat. Datangi orangnya atau telpon secara langsung. Jika diseret ke ranah publik (media sosial), jatuhnya malah seperti gimmick, riya dan hambar tak bermakna.

Balik lagi ke perilaku kita di dunia maya. Sejatinya ada etika yang perlu diperhatikan, tak bisa seenaknya sendiri. Hal-hal yang tak baik dilakukan di dunia nyata, jangan dilakukan di dunia maya. Seperti mengolok-ngolok, marah-marah gak jelas, ghibah, menyebarkan berita bohong dan melakukan perundungan.

Jika ingin melontarkan kritik, maka lakukanlah secara cerdas dan elegan. Kepleset sedikit saja, kita bisa terjerat masalah. Jejak digital kita tak akan hilang. Selalu saja ada netizen yang gercep men-screenshot.

Untuk itu, kita harus bijak dalam menggunakan media sosial. Beberapa kaidah yang bisa dicoba, diantaranya adalah; kalau lagi marah, kesel sama seseorang; sebaiknya hindari HP. Saat emosi memuncak, kita gak bisa berpikir jernih, jempol kita susah dikendalikan. Pas udah sadar, baru nyesel deh.

Kita memang tak bisa menyenangkan semua orang di dunia maya, namun kita tetap bisa sopan kepada siapa pun. Jika ingin diperlakukan baik, ya jangan suka nyakitin orang lain. Jangan pernah menyalahgunakan wewenang meskipun kita punya kekuasaan.

Jangan lupa, lapangkan hati agar kita gak membenci orang yang beda dengan kita. Dan semoga kita mudah memaafkan orang lain yang sedang tergelincir di dunia maya.

Terakhir, ada baiknya kita merenungkan petuah dari almarhum Om Nukman Luthfie: “Media sosial itu jendela kecil untuk menafsir siapa kita. Rawatlah demi masa depan yang lebih baik

Tabik

Ngobrol Sama Pasangan

Buat saya, healing itu gak harus liburan, belanja dan makan-makan mewah. Cukup ngobrol dengan istri, deep talk, ngobrolin tentang anak, tentang kerjaan, haha hihi bareng dan saling curhat. Gini aja rasanya udah luar biasa. Dunia seperti milik berdua.

Punya pasangan yang asyik diajak bercerita sungguh menyenangkan. Apalagi jika saling mendoakan dan saling melepas tawa. Ini akan jadi sumber energi yang tiada tara. Segala kegelisahan, drama kehidupan, office politic, kegaduhan dan carut marut yang terjadi di luar sana, akan luruh saat memasuki rumah.

Kalah menang dalam hidup ini, kita akan selalu menemukan tempat pulang yang penuh kedamaian. Hati pun akan tenang.

Untuk bisa klik [menyatu] dengan pasangan, harus ada upaya yang kita perjuangkan. Karena biasanya kalau udah lama nikah, akan muncul kebosanan. Rasa cinta memang masih ada. Tapi entah mengapa ngobrol gak nyambung, bertegur sapa cuma sekadarnya, chating gitu-gitu aja kalau pas ada perlunya. Bahaya banget nih kalau sampai males ngobrol dengan pasangan. Karna sejatinya pernikahan itu sebagian besar isinya adalah obrolan.

Ngobrol dengan orang yang sama; lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi, berpuluh-puluh tahun lagi, bahkan seumur hidup. Kalau gak nyaman, kehampaan akan menerpa kita.

Sebenarnya hal seperti itu wajar terjadi, tapi gak boleh dibiarin. Cari tahu akar masalahnya, lalu temukan jalan keluar. Ada banyak faktor yang membuat kehampaan menerjang biduk rumah tangga.

mari ngeteh, mari bicara. Gambar IG: bro_danang

Pertama, kesibukan. Semua kesibukan itu membuat lupa bahwa sejatinya kita adalah pasangan kekasih. Suami sibuk cari nafkah, istri sibuk urus anak-anak. Biasanya pas baru punya anak atau saat nambah momongan. Masing-masing merasa paling berkeringat, lalu adu rayu capek. Suami mau diajak curhat, udah keburu ngorok. Padahal istri udah siap spill the tea. Atau sebaliknya; suami mau dengerin, tapi istrinya lebih memilih mengungkapkan segala kegundahannya lewat story.

Capernya justru ke orang lain. Atau sibuk cari kesenangan di luar, sibuk nongkrong sama teman-teman komunitas, akhirnya pulang ke rumah cuma buat tidur, mandi dan makan.

gak gitu juga kali

Terlalu sibuk jadi masalah, gak sibuk pun, bingung mau ngapain lagi juga bakalan jadi perkara. Saat semua sudah tercapai, KPR dah lunas, anak-anak sudah mentas semua, gak ada lagi adrenalin rush, kondisi seperti ini juga memicu kehampaan. Mengalir begitu saja, datar dan hambar.

Ikhtiar yang bisa kita lakukan untuk mengatasi kondisi seperti itu, yang utama adalah senantiasa memohon kepada Yang Maha Kuasa agar rumah tangga kita dinaungi keberkahan dan dilembutkan hati kita. Tanpa pertolongan dari-NYA, kita akan mudah limbung dihantam kerasnya kehidupan.

Berikutnya harus ada yang memulai untuk menghidupkan kembali relationship, mengembalikan romantisme dan mengembalikan kupu-kupu di perut. Berkomunikasilah secara dua arah, tidak ada yang mendominasi seperti guru yang sedang marahin muridnya.

Jangan lupa untuk switching peran. Mentang-mentang di kantor jadi bos, di rumah maunya diperlakukan gitu juga. Maen perintah-perintah, minta dihormati banget. Gak gitu juga.

Ngomong pun harus gantian, dengerinnya juga gantian. Kalau gak ada yang ngalah, jadinya malah kayak suasana gedung dewan berantem. Ada baiknya kalau mau ngobrol sama pasangan, kondisi perut tidak sedang lapar. Orang lapar kesenggol dikit mudah emosi.

Sereceh apa pun obrolan, kalau dengerinnya dengan antusias dan penuh minat, gak disambi maen hp; akan jadi sesuatu yang menarik.

Perlu diingat juga, komunikasi bukan sekadar kata. Bisa dicoba soul to soul communication. Di tempat tidur berdua, gak ngapa-ngapain, cuma cuddling, pegangan tangan pas tidur, biarkan hati kita yang bicara.

Pada akhirnya, gak ada rumus pasti untuk mengatasi kebuntuan komunikasi. Tiap orang punya cara yang unik untuk menyelesaikannya. Ini adalah bagian dari seni dalam sebuah pernikahan.

Semoga upaya-upaya baik yang kita lakukan untuk menuju rumah tangga yang harmonis senantiasa mendapat ridho dari-NYA.

Sulitkah Untuk Menabung?

Secara teori, menabung itu nampak mudah. Tinggal sisihkan sebagian uang dari penghasilan, lakukan secara rutin dan simpan di tempat yang aman. Selesai.

Tapi begitu dijalanin, susahnya minta ampun. Ada aja godaannya. Mulai jajan es kopi, promo di shopee, beli gadget baru, jalan-jalan, langganan Netflix, Spotify dan membership gym.

Padahal nonton film di TransTV udah bagus-bagus. Olahraga di taman juga bisa bikin sehat dan langsing.

Kita dikepung oleh konsumerisme. Hal-hal yang sebenarnya tak begitu penting pun seolah-olah menjadi kebutuhan yang wajib dipenuhi. Tak heran jika untuk menjadi kaum urban yang kekinian, dibutuhkan modal yang tak sedikit.

Ada duit pun jika tak disiplin, menabung hanya akan jadi angan-angan. Apalagi gak ada duitnya.

Saya pernah mengalami gaji kayak numpang lewat aja, bersih gak bersisa. Hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.

Sebagai anak muda usia 20-an kala itu, tentu ngerasa sedih dan lost banget. Yang lain bisa foya-foya, pundi-pundi uangnya makin bertambah; sementara saya masih tertatih-tatih berjuang melewati tanggal tua.

Saking penasarannya, saya coba meng-audit keuangan. Catetan pengeluaran saya pantengin satu-persatu, biar ketahuan boncosnya di mana.

Ternyata gaya hidup saya gak neko-neko. Duit larinya ke hal-hal esensial. Buat makan, beli susu anak, bayar kontrakan dan biaya kuliah. Penghasilan saya aja yang saat itu emang mepet banget.

Tak semua orang bisa menyisihkan uangnya untuk ditabung. Karna tiap orang beda tanggungannya, beda kebutuhannya, beda prioritasnya, beda pendapatannya, beda pula rejekinya. Jadi …gak harus banget, usia 25 punya tabungan 100 juta.

Untunglah kondisi prihatin itu tak membuat saya gelap mata. Jatah rejeki saya saat itu emang segitu. Ini di luar kendali saya.

Dalam hidup, akan banyak kejadian yang tak sesuai dengan harapan kita. Yang bisa dikendalikan adalah bagaimana respon menyikapi keadaan tersebut. Mau nyari solusi yang baik atau milih jalan pintas yang buruk. Prinsip saya, sebutuh-butuhnya sama duit, jangan sampai bikin kita jadi orang jahat.

Ada yang tega nikung teman, nipu sodara, korupsi, morotin mertua, ngambil yang bukan haknya dan terbelit hutang kartu kredit.

Pasang surut urusan finansial tuh hal biasa dalam kehidupan. Kita kan pengennya kalau lagi di bawah gak lama-lama. Maunya di atas terus.

Jangan takut gak dapat rejeki. Takutlah saat mencari rejeki justru menjauhkan kita dari Sang Maha Pemberi.

Bagaimana pun kondisi kita, yang terpenting adalah jangan denial. Terimalah dengan lapang dada. Bisikkan dalam hati “Ya Allah aku ikhlas dan ridho dengan takdirMu. Semua ini pasti yang terbaik untukku. Bantu aku ya Allah untuk melewati setiap episode kehidupan”.

Lalu perbesar kapasitas diri untuk layak menerima lebih dari Yang Maha Kuasa; dengan bekerja lebih giat, jujur, memuliakan orang tua, menolong orang lain serta berbagi pada sesama. Rejeki itu soal kepantasan.

Ya Allah, kami percaya bahwa harta benda adalah titipan dariMu. Titipin kami lebih ya Allah. Bismillah 30 triliun cair.

Nah kalau kondisi keuangan mulai membaik, jangan lupa untuk mengelolanya lebih baik lagi. Biasakan untuk menabung, bikin dana darurat dan investasi. Ingat kita tidak hidup untuk hari ini saja. Ada hari tua, ada biaya pendidikan anak-anak dll.

Kendalikan diri, sabar, tentukan prioritas dan jangan ragu untuk menunda kesenangan sementara untuk hari esok yang lebih baik.

Belanja, seneng-seneng atau pun self reward boleh-boleh saja. Gak tabu kok. Asal bijak dan tahu batasan diri.

Semoga upaya-upaya baik yang kita lakukan lekas mewujud. Mari saling bantu saling dukung. Siapa tahu kita bisa jadi jalan terbukanya rejeki orang lain.

Dan yang kondisi finansialnya lagi sempit, semoga segera dilapangkan. Diberi rezeki tak terduga dari arah yang tak disangka-sangka. Amiin

Empat Puluh

Bulan lalu, saya ulang tahun yang ke empat puluh. Perasaan sih kayak baru kemarin lulus kuliah. Ternyata sudah empat dekade mengarungi kehidupan ini. Tak bisa disangkal, saya emang gak muda lagi. Gampang capek, jam sembilan malam udah ngantuk. Udah mulai akrab dengan aneka balsem, bahkan mulai hapal.

Namun saya tetap bersyukur, sampai saat ini masih hidup, sehat dan tak insecure.

Saya bisa banyak belajar dari hari-hari yang pernah saya lalui. Bergembira dan menikmati terhadap semua rizki yang diberikan Allah serta ikhlas menerima segala ujian. Ada sedihnya juga sih. Namun tak sekali pun kepikiran andai bisa kembali ke masa lalu, saya akan begini begitu. Sudahlah, yang lalu biarlah berlalu.

Memasuki usia empat puluh adalah salah satu tahapan kehidupan yang krusial. Tak sedikit yang mengalami krisis paruh baya karna merasa khawatir dan menolak menjadi tua. Maunya merasa muda terus. Dari sinilah muncul puber kedua.

Gak cuma itu sih. Ada juga yang terbebani, karena anggapan orang usia empat puluhan adalah usia yang matang. Yang sering jadi sorotan adalah kematangan finansial, karna ini yang mudah dilihat orang. Sudah punya apa? Ini yang bikin overthinking.

Umur empat puluh kalau belum punya rumah, gak pernah jalan-jalan ke luar negeri, gak punya mobil, apalagi masih jadi beban keluarga; bakalan nangis bombay jadi bahan cibiran masyarakat. Inilah risiko hidup ditengah-tengah judgemental society.

Padahal bertambahnya usia tak selalu tentang pertumbuhan. Aset harus nambah, karir mesti moncer, jabatan mesti meningkat. Bisa jadi justru tentang sesuatu yang berkurang. Tentang mengurangi ego, mengurangi keserakahan, mengurangi kebiasaan buruk, mengurangi nafsu ingin selalu lebih hebat dari orang lain. Ini juga bagian dari growth.

Berapa pun usia kita; dua puluh lima, tiga puluh atau empat puluh; jangan pernah merasa gagal dengan kondisi yang kita alami saat ini. Setiap fase kehidupan, selalu beda tantanganya. Gak perlu iri dengan pencapaian orang lain. Selama kita sehat, punya iman dan takwa, kerjaan lancar, bisa bayar cicilan, dikelilingi orang-orang tercinta serta punya support system yang baik; hidup kita lebih dari cukup.

Kita hanya bisa merasa kalah, jika kita menganggap hidup ini sebagai sebuah perlombaan. Padahal sejatinya hidup ini tentang perjalanan. Hanya persinggahan.

Di usia empat puluh ini semoga saya makin sadar bahwa bisa jadi usia yang sudah dilalui jauh lebih banyak dibanding usia yang tersisa.

Mesti rajin-rajin mengevaluasi diri, berusaha jadi pribadi yang lebih baik, rajin bersyukur, berbagi dan jangan pernah berupaya menjadi orang lain. Gak papa medioker, yang penting jadi versi terbaik sesuai diri sendiri.

Bismillah aja, semoga usia saya makin berkah.

Tabik

Cuma Punya Satu

Saya punya beberapa barang pribadi yang jumlahnya dikit banget. Mungkin ada yang nganggep ini agak aneh, karna biasanya orang-orang pada punya lebih dari satu, alasannya sih untuk self reward.

Ini bukan tentang siapa yang paling banyak atau paling sedikit. Tapi tentang memaknai rasa cukup.

Gak tahu ini namanya apa; minimalis, hemat, pelit atau karna keterak kahanan. Tapi saya fine-fine aja sih.

Sejak beberapa tahun yang lalu, saya memang mencoba belajar untuk tidak berlebihan dan mengurangi konsumerisme.

Persepsi orang tentang boros atau pun hemat tentu saja beda. Jadi gak ada yang salah atau pun benar.

Prinsipnya, jangan sampai membeli barang yang sebenarnya gak dibutuhkan, hanya demi mendapatkan pengakuan dari orang lain. Lebih-lebih jika gak ada duitnya, sampai berhutang. Apesnya lagi, pas udah punya barangnya, eh gak diwaro sama orang lain. Gak di-notice. Perih.

Intinya sih, untuk bahagia gak harus berlebihan.

Hasilnya ya seperti ini, saya tidak terlalu mempunyai banyak barang. Nah ini dia sepuluh barang yang saya hanya punya satu.

Handphone

Kadang saya suka heran, kok ada orang sampai bawa tiga HP. Belum lagi power bank-nya.  Apa gak ribet ya. Gak mungkin kan tiga-tiganya dipakai bersamaan. Alasan yang pernah saya dengar sih, ini nomer hp khusus untuk keluarga, yang itu khusus rekan kerja. Satu lagi buat main game.

Kalau saya, hp cuma satu. Harganya gak pernah lebih dari lima juta. Sebagai kaum mendang minding, yang penting HP bisa buat nelpon, foto-foto dan internetan.

Nomor pun juga satu. Dari tahun 2002 hingga sekarang nomor saya gak pernah ganti.

Sama nomer hp aja saya setia, apalagi sama pasangan.

Sepatu olah raga

Selain menyehatkan, sejatinya olah raga itu juga murah asal gak gabung komunitas. Gengsi lah yang membuatnya jadi mahal. Sepatu harus merk ternama, jersey harus yang mahal. Kalau gak gitu takut gak diterima di komunitas. Akhirnya bela-belain beli yang kw. Sedihkan.

Buat saya, sepatu yang bagus tuh yang dipakai olah raga. Bukan cuma disimpan dijadikan koleksi.

Saya pakai sepatu buatan lokal seperti nineteen atau Piero. Selain buat lari, buat jalan-jalan keren juga. Ganti sepatu kalau udah rusak.

Parfum

Bau harum memang bisa memberi efek positif dan meningkatkan kepercayaan diri. Tak heran jika banyak yang suka mengkoleksi parfum. Biasanya sih perempuan. Parfum untuk pergi kerja dengan pergi kondangan dibedakan. Tapi ternyata cowok ada juga yang seperti itu.

Saya prefer parfum dengan aroma lembut, yang aromanya gak nusuk hidung, gak mengganggu orang di sekitar. Beli parfum baru jika yang lama udah habis.

Jam tangan

Sempat tergoda untuk nambah jam tangan baru, smart watch. Buat keren-kerenan pas lagi lari, buat konten juga.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi ya buat apa. Toh sudah ada Strava di HP.

Ketenangan hati itu kan terletak pada sedikitnya keinginan.

Saya pakai Seiko 5 automatic. Diameternya gak terlalu besar, warna strap-nya cocok dengan kulit saya yang eksotis dan modelnya elegan. Sudah sepuluh tahun lebih dan masih saya pakai.

Kacamata

Dulu nyari kacamata yang harganya gak nguras kantong, dengan mengorbankan fungsi dan kenyamanannya. Akhirnya malah jarang dipakai. Minus pun jadi nambah.

Sejak saat itu, kalau nyari barang saya concern sama kualitas, kenyamanan dan efektivitas. Ada harga ada rupa.

Tumbler
Dengan membawa tumbler, kita bukan sekadar menghemat pengeluaran, namun juga turut menjaga alam agar tak tercemar dengan dengan sampah botol plastik.

Pilihan saya jatuh pada tumbler Eiger. Bisa diisi air panas atau dingin.

Dompet

Ini salah satu barang  yang cukup sentimental buat saya. Pertama kali punya dompet pas SMP, merk Dagadu. Kalau dibuka isinya dikit nyaring suaranya, karna ada perekatnya.

Saat ini saya pakai dompet kulit, modelnya sederhana. Yang istimewa adalah di dalam dompet itu ada foto orang-orang tercinta. Sebagai pengingat buat saya, agar selalu menyimpan uang halal di dompet itu.

Sepeda

Olahraga bersepeda makin ngetren di masa pandemi. Saking semangatnya, sampai ada yang ternak sepeda. Sudah punya road bike, nambah mountain bike, nambah lagi sepeda lipat. Ya gak papa sih.

Saya pakai ini aja THRILL Cleave 1.0.

Tas kerja

Sebenarnya punya banyak tas kerja, karna sering dapat gratisan dari kantor. Saya bagi-bagi ke saudara. Yang sering saya pakai tas slempang Kalibre. Simpel, gak terlalu besar.

Akun Medsos

Di IG, FB dan Twitter; saya hanya punya satu akun.

Paling tidak ini  mendorong saya untuk lebih bertanggung jawab saat buat postingan di medsos. Biasanya yang bikin akun anonim ini, orang yang pengen nyinyir, julid atau stalking tanpa takut ketahuan.

Lantas apakah tak boleh punya barang lebih dari satu? Tentu saja boleh banget. Pakaian kalau cuma satu, ya gak bakalan cukup. Buku tulis buat kuliah, pasti butuh lebih dari satu deh. Atlet sepak bola bisa punya lebih dari tiga sepatu, karna memang itu kerjaannya. Fotografer punya lebih dari lima kamera, karna nafkahnya di situ.

Jadi sesuaikan saja dengan keadaanmu. Kamu pasti tahu mana yang bener-bener kamu butuhkan.

Kalian punya barang apa aja yang cuma satu? Sini cerita yuk

Seragam Lebaran

Semenjak awal menikah hingga sekarang, belum sekali pun kami menggunakan baju seragam saat lebaran. Sebenarnya istri saya sudah pernah ngajakin, biar seru kayak orang-orang gitu. Saya nya aja yang keukeuh enggak mau.

Selama ini yang bajunya pernah kembar hanya anak-anak. Lucu aja lihat anak kecil pakai baju samaan. Imut dan gemesin. Pas anak-anak udah mulai gede, terserah pakai baju apa. Yang penting enak digunakan, pantas, sopan dan menutup aurat.

Meski begitu, saya gak pernah menghalangi jika istri pengen bikin seragam, dengan catatan saya nggak usah dibikinkan. Makasih banget deh.

Gak ada yang salah dengan seragam lebaran. Hanya saja tiap orang kan punya preferensi yang berbeda. Saya lebih suka keberagaman, kebebasan dalam berekspresi, termasuk dalam memilih pakaian.

Ada beberapa hal yang membuat saya no seragam-seragam club di hari lebaran. Pertama karena lebaran itu gak wajib baju baru. Banyak makna yang jauh lebih mendalam dibanding berlebih-lebihan dalam berbusana. Tentang kemenangan mengalahkan hawa nafsu, tentang menjalin silaturahim, tentang kebesaran jiwa untuk mau memaafkan.

Kesibukan kita dalam menyiapkan seragam lebaran, memilih bahan, mencari model yang bagus; jangan sampai membuat kita terjebak pada seremoni belaka, menjauhkan dari subtansi yang sebenarnya.

Hari raya lebaran memang layaknya pagelaran fashion show. Semua ingin mencuri perhatian tampil terbaik di hari fitri. Sayangnya tak sedikit yang terlalu memaksakan diri. Beli baju over budget, mentingin tren terbaru, tidak menyesuaikan dengan bentuk tubuh. Bahkan warna pilihan pun sering nabrak dengan warna kulit. *badan mungil tapi pakai kaftan yang rame, akhirnya malah terlihat semakin tenggelam.

Kedua, menurut saya ini termasuk pemborosan. Vibes-nya seragam lebaran biasanya formal banget, sulit dipadupadankan dengan pakaian lain dan gak cocok untuk baju harian.

Makainya hanya setahun sekali, itu pun hanya sebentar. Biasanya habis dhuhur udah ganti dengan baju kebesaran; daster, kaos oblong dan boxer. Ujung-ujungnya seragam lebaran hanya akan jadi pajangan di lemari.

Etapi ini hanya pendapat saya lho, belum tentu sejalan dengan pemikiran orang lain. Yang suka pakai seragam, silakan aja. Tetep keren kok.

Intinya pakaian apa pun yang digunakan harus bikin kita tenang, percaya diri, nyaman dan tidak insecure. Kita berdandan, memakai baju sejatinya untuk diri sendiri, bukan untuk menyenangkan orang lain.

Salam

Memilih Pasangan

Pasangan yang kita pilih akan menentukan bagaimana kehidupan selanjutnya. Jika dapat yang baik, setidaknya separuh kebahagiaan ada di genggaman. Kalau dapat yang buruk, bersiaplah berkawan dengan prahara.

Tentu saja tiap orang punya kriteria yang berbeda untuk menemukan belahan jiwanya.

Gambar dari IG @ bro_danang

Anak muda usia duapuluhan awal –yang gairah asmaranya sangat membara dan egonya tinggi– pasti maunya dapet paket lengkap. Detail banget.

Harus sedap dipandang mata, gak malu-maluin kalau diajak ke kondangan, body proporsional, gak seperti gapura selamat datang, tinggi semampai, bukan penganut bumi datar, kalau habis mandi handuk gak ditaruh di atas kasur, bisa masang galon dan LPG, preferensi politik sama, gak merokok, IP lebih dari 2.75, diajak ngobrol nyambung, dari keluarga baik-baik, penghasilan minimal 30 juta dan bukan Gemini.

Sementara mereka yang usia tigapuluhan, gak muluk-muluk lagi. Cukuplah baik, setia, penyayang dan punya kerjaan. Empat puluhan ke atas beda lagi, yang penting cocok dan ada yang mau aja deh.

Yang menikah di umur tiga puluhan, kebanyakan dapat pasangan yang dulunya teman SMA, teman kuliah, teman magang atau dikenalin keluarga.

Jika mencintai karena kecantikan dan kemolekan tubuh, akan selalu ada yang body-nya lebih bagus dari si dia. Jika memilihnya hanya karna kekayaannya, percayalah yang kita butuhkan tak sebanyak itu. Dunia dan seisinya, tak kan pernah memuaskan kita.

Lantas apa tolok ukur yang tepat untuk memilih pasangan? Kalau versi saya sih sebagai seorang muslim, agama menjadi pertimbangan utama. Ibadah formalnya bagus, akhlaknya pun terpuji. Ini tentang kesolehan dan keelokan hati. Setelah itu, boleh deh nambahin kriteria lainnya. Boleh kok milih yang cantik. Setidaknya cantik menurutmu.

Tapi ya tetep harus realistis dan sadar diri. Ngaca. Kalau standarnya tinggi banget, coba dipikir lagi deh kira-kira ada gak yang seperti itu. Mau gak orangnya sama kita, pantes gak dia buat kita. Dalam Islam, inilah yang disebut konsep sekufu, setara.

Ada beberapa value yang menjadi perhatian saya dalam memilih pasangan. Pertama, pinter. Gak harus punya gelar S2, dari kampus ternama. Gak gitu juga. Pinter menurut saya lebih dari itu. Ini tentang kemampuan dan kecerdasan dalam menghadapi lika-liku kehidupan. Pinter cari duit dan ngatur duit, pinter nyenengin pasangan dan mertua, pinter bergaul, pinter membawa diri serta pinter mengatasi konflik.

Value berikutnya adalah tentang sikap mental yang tahan banting, gak mudah menyerah, mau diajak hidup susah berjuang bersama. Memperjuangkan cinta, memperjuangkan impian dan harapan.

Soalnya setelah nikah, bukan berarti sudah selesai. Justru ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang.

Menikah memang indah, tapi tetep saja ada onak dan duri yang harus dihadapi. Mulai urusan finansial, karir pasangan, pendidikan anak, menghadapi puber kedua, melawan kebosanan, mengatasi krisis psikologis, menjaga hubungan dengan saudara, ipar maupun dengan tetangga. Pelik banget. Perlu saling mendukung dan saling menguatkan, agar semua rintangan bisa dilewati.

Yang jadi masalah adalah bagaimana kita tahu bahwa dia adalah yang terbaik buat kita. Gak mau dong kita beli kucing dalam karung.

Yang pacaran bertahun-tahun aja bisa dapat zonk, ketipu. Pas udah nikah mulai ketahuan semua belangnya.

Kepribadian orang memang susah ditebak. Tapi kita bisa menguliknya dari lingkungan pertemanannya, bagaimana tanggung jawabnya terhadap pekerjaan serta bagaimana ia memperlakukan keluarganya. Ini urusan teknis banget. Pinter-pinternya kita aja lah.

Kita bisa minta bantuan orang tua, teman atau saudara untuk memberi masukan. Dan yang tak kalah penting adalah berdoa kepada Yang Maha Kuasa, agar kita diberi petunjuk. Shalat istikharah. Biasanya akan muncul kemantapan hati.

Dan pada akhirnya, kita harus mengakui dan menerima dengan lapang dada bahwa tak ada manusia yang sempurna. Masing-masing kita punya kekurangan. Sadari ini agar tidak demanding pada pasangan.

Pernikahan tak hanya tentang siapa pasangan kita, tapi juga tentang apa yang kita lakukan untuk pasangan kita.

Andil kita dalam membina keluarga sangat menentukan akan menjadi seperti apa pasangan kita. Ibarat membeli tanaman hias yang indah dan menawan, jika tak dirawat dengan baik, disiram, dipupuk; maka akan layu, menguning dan mati.

Begitu juga dengan pasangan hidup. Apakah setelah menikah dengan kita, ia menjadi lebih bahagia. Apakah ia tumbuh menjadi pribadi yang makin baik, makin dewasa dan matang, makin rajin beribadah serta makin bertanggung jawab.

Ini yang harus kita perjuangkan. Masing-masing harus berupaya memberikan yang terbaik untuk pasangan. Agar cinta makin bersemi indah, agar hari-hari yang dilalui makin penuh berkah dan bernilai ibadah.

Tabik.