Secara teori, menabung itu nampak mudah. Tinggal sisihkan sebagian uang dari penghasilan, lakukan secara rutin dan simpan di tempat yang aman. Selesai.
Tapi begitu dijalanin, susahnya minta ampun. Ada aja godaannya. Mulai jajan es kopi, promo di shopee, beli gadget baru, jalan-jalan, langganan Netflix, Spotify dan membership gym.
Padahal nonton film di TransTV udah bagus-bagus. Olahraga di taman juga bisa bikin sehat dan langsing.
Kita dikepung oleh konsumerisme. Hal-hal yang sebenarnya tak begitu penting pun seolah-olah menjadi kebutuhan yang wajib dipenuhi. Tak heran jika untuk menjadi kaum urban yang kekinian, dibutuhkan modal yang tak sedikit.
Ada duit pun jika tak disiplin, menabung hanya akan jadi angan-angan. Apalagi gak ada duitnya.
Saya pernah mengalami gaji kayak numpang lewat aja, bersih gak bersisa. Hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Sebagai anak muda usia 20-an kala itu, tentu ngerasa sedih dan lost banget. Yang lain bisa foya-foya, pundi-pundi uangnya makin bertambah; sementara saya masih tertatih-tatih berjuang melewati tanggal tua.
Saking penasarannya, saya coba meng-audit keuangan. Catetan pengeluaran saya pantengin satu-persatu, biar ketahuan boncosnya di mana.
Ternyata gaya hidup saya gak neko-neko. Duit larinya ke hal-hal esensial. Buat makan, beli susu anak, bayar kontrakan dan biaya kuliah. Penghasilan saya aja yang saat itu emang mepet banget.
Tak semua orang bisa menyisihkan uangnya untuk ditabung. Karna tiap orang beda tanggungannya, beda kebutuhannya, beda prioritasnya, beda pendapatannya, beda pula rejekinya. Jadi …gak harus banget, usia 25 punya tabungan 100 juta.
Untunglah kondisi prihatin itu tak membuat saya gelap mata. Jatah rejeki saya saat itu emang segitu. Ini di luar kendali saya.
Dalam hidup, akan banyak kejadian yang tak sesuai dengan harapan kita. Yang bisa dikendalikan adalah bagaimana respon menyikapi keadaan tersebut. Mau nyari solusi yang baik atau milih jalan pintas yang buruk. Prinsip saya, sebutuh-butuhnya sama duit, jangan sampai bikin kita jadi orang jahat.
Ada yang tega nikung teman, nipu sodara, korupsi, morotin mertua, ngambil yang bukan haknya dan terbelit hutang kartu kredit.
Pasang surut urusan finansial tuh hal biasa dalam kehidupan. Kita kan pengennya kalau lagi di bawah gak lama-lama. Maunya di atas terus.
Jangan takut gak dapat rejeki. Takutlah saat mencari rejeki justru menjauhkan kita dari Sang Maha Pemberi.
Bagaimana pun kondisi kita, yang terpenting adalah jangan denial. Terimalah dengan lapang dada. Bisikkan dalam hati “Ya Allah aku ikhlas dan ridho dengan takdirMu. Semua ini pasti yang terbaik untukku. Bantu aku ya Allah untuk melewati setiap episode kehidupan”.
Lalu perbesar kapasitas diri untuk layak menerima lebih dari Yang Maha Kuasa; dengan bekerja lebih giat, jujur, memuliakan orang tua, menolong orang lain serta berbagi pada sesama. Rejeki itu soal kepantasan.
Ya Allah, kami percaya bahwa harta benda adalah titipan dariMu. Titipin kami lebih ya Allah. Bismillah 30 triliun cair.
Nah kalau kondisi keuangan mulai membaik, jangan lupa untuk mengelolanya lebih baik lagi. Biasakan untuk menabung, bikin dana darurat dan investasi. Ingat kita tidak hidup untuk hari ini saja. Ada hari tua, ada biaya pendidikan anak-anak dll.
Kendalikan diri, sabar, tentukan prioritas dan jangan ragu untuk menunda kesenangan sementara untuk hari esok yang lebih baik.
Belanja, seneng-seneng atau pun self reward boleh-boleh saja. Gak tabu kok. Asal bijak dan tahu batasan diri.
Semoga upaya-upaya baik yang kita lakukan lekas mewujud. Mari saling bantu saling dukung. Siapa tahu kita bisa jadi jalan terbukanya rejeki orang lain.
Dan yang kondisi finansialnya lagi sempit, semoga segera dilapangkan. Diberi rezeki tak terduga dari arah yang tak disangka-sangka. Amiin