Tegar Menerima Kenyataan

Saat pembagian raport semester lalu, anak saya gak masuk ranking tiga besar. Terbiasa langganan juara tiba-tiba terdepak dari podium, tentu ini sangat menyesakkan. Lalu ada awan kelam bergelayut di pelupuk matanya. Dan akhirnya, air mata berlinang membasahi pipinya.

Menghadapi hal-hal pelik seperti ini, saya langsung memeluknya erat. Saya pun tak buru-buru menyuruh menghentikan isak tangisnya. Biar saja. Toh nangisnya gak lebay, gak sampai histeris. Biarlah dia ekspresikan kesedihannya. Ini malah bagus, karna dia jujur. Tak berupaya mati-matian menyangkal emosi dan membohongi diri dengan pura-pura tegar.

Setelah agak baikan, saya mulai mengajaknya ngobrol. Ngomong biasa aja, bukan tentang sejuta motivasi semu untuk menyenangkan hatinya.

Saya katakan padanya “Santai aja nak, papa gak marah. Boleh sedih, tapi gak usah baper. Papa tetap bangga sama kamu karna kamu sudah berusaha keras”

Sebagai seorang ayah, saya begitu gatel pengen menceramahinya. Supaya dapat ranking tuh, kamu harus begini, kamu jangan begitu. Seolah-olah dulu saya adalah murid yang hebat.

Padahal apalah saya ini, malah lebih parah dari dia. Juara kelas gak pernah, ikutan lomba cerdas cermat kalah, ikut seleksi Paskibra gak pernah lolos, ikut Porseni antar sekolah juga keok. Baru ndeketin cewek, belum nembak sudah ditolak. Masa muda saya begitu pilu, akrab dengan kekalahan dan kekecewaan.

Tapi dari situlah saya mulai menemukan pembenaran menyadari bahwa inilah saya yang sesungguhnya. Saya belajar bahwa tak mengapa menjadi manusia biasa-biasa saja. Tidak apa-apa prestasi kita tidak sehebat yang lain. Tidak apa juga jalan jalan kita tak sejauh mereka. Tidak ada salahnya menjadi manusia biasa. Hidup memang gak harus baik-baik saja. Gagal bukanlah sebuah kehinaan.

Untunglah saat itu saya gak terpuruk. Saya yakin esok akan ada peluang lagi. Hanya perlu untuk terus bersabar dan berusaha lebih optimal.

Kisah itulah yang coba saya bagikan ke anak saya, agar dia bisa memetik hikmah. Saya berharap ia tak mudah limbung dihantam kerasnya kehidupan. Sebab dalam hidup akan selalu ada hal-hal yang tak sesuai dengan keinginan kita. Butuh jiwa besar untuk mau menerima. Hamdalah dia bisa memahami.

Dan yang membuat saya gembira, anak saya tak menyalahkan pihak lain atas rankingnya yang turun. Dia sportif mengakui, sempat kendor dalam belajar. Ada beberapa kawannya yang ngedumel nilainya merosot karna cara mengajar guru tidak asyik, materi yang belum tuntas, serta murid yang mencontek saat ulangan.

Sikap blaming others ini bahaya lho. Kalau dikit-dikit menyalahkan orang lain, kita tak bisa mengenali diri sendiri dan gak akan pernah berkembang. Kedewasaan akan mandek dan menjadikan kita seorang pengecut.

Peristiwa ini justru membuat dia mengerti dan mengevaluasi kekurangan dirinya. Makin semangat belajar dan gak malu bertanya pada temannya bila ada sesuatu yang tak ia mengerti.

Atas sikapnya itulah, saya beri dia hadiah sebuah jam tangan yang tlah lama diidamkan. Dia heran, ranking turun bukannya dimarahin malah dapet hadiah. Itu adalah wujud apresiasi saya atas keikhlasannya menerima kepedihan dengan lapang dada. Sebab kemampuan menyikapi kegagalan itu jauh lebih penting daripada sekadar merayakan kemenangan.

Kini tak ada lagi gurat kecewa di wajah cantiknya. Ia telah berdamai dengan dirinya sendiri.

Excellence is not being the best, it is doing your best.

Cinta Lama Bersemi Kembali [CLBK]

Saya punya grup WA baru, alumni SMP. Berisiknya minta ampun. Kalau mau diturutin, seharian bakalan mantengin HP. Ada aja yang diomongin. Nanyain kabar sekarang, kerja di mana, tinggal di mana, anak berapa, semalam sama siapa.

Tapi yang paling heboh adalah obrolan tentang kenangan masa silam. Waktu memang bisa mengubah segalanya, tapi tidak untuk kenangan. Kenangan anak-anak remaja kala itu yang ngehits ya seputar kisah percintaan.

Dan grup WA pun semacam jadi ajang pengakuan. Pengakuan dosa maupun pengungkapan perasaan yang dulu pernah terpendam. Gak ada lagi yang malu apalagi jaim. Yang dulu menjadi rahasia, perlahan-lahan mulai terungkap.

Mungkin karna kami semua sudah tak muda. Makin woles, ndak lebay dan tak suka drama lagi. Bisa jadi ini karna kematangan usia. Sudah lelah bertarung, saatnya menepi dan butuh hiburan untuk menertawakan kerasnya hidup.

Di WAG itu, ada teman sekelas yang dulu saya taksir. Saat masih sekolah, jika bertemu dengannya, hati selalu berkecamuk. Modus saya kala itu sering minjem catetan pelajaran, padahal sudah nyatet. Nanyain PR ke kostnya, meski saya bisa mengerjakan sendiri.

Kami begitu akrab, hingga banyak yang nuduh kami pacaran, padahal enggak. Dia baik ke saya, begitu juga sebaliknya. Apakah dia memendam perasaan yang sama, itu tak menjadi soal buat saya. Jalani saja. Akhirnya, hubungan kami tanpa status yang jelas. Itu karena saya tak cukup punya keberanian untuk mengungkapkan perasaan.

Kejadian serupa pun terjadi di masa SMA, tapi dengan gadis idola yang berbeda. Saya selalu saja mencintai dalam diam dan entah mengapa justru nyaman dengan cara seperti itu. Semu dan tak berujung. Saya lemah. Terlalu lugu. Hanya mampu menjadi pemuja rahasia.

Lantas, apakah saya menyesal. Saat itu mungkin ya, tapi waktu telah menyembuhkan luka batin. Dan saya percaya, di setiap kehilangan, Tuhan selalu menyiapkan yang lebih baik untuk kita. Toh saat itu saya hanya anak ingusan yang belum tahu apa-apa. Yang mudah terpesona oleh makhluk Tuhan nan jelita.

Sekiranya waktu itu saya tahu harga beras, susu formula dan mahalnya angsuran KPR, tentu saya akan rajin belajar agar menjadi generasi muda harapan bangsa. Tidak berkubang dalam duka lara asmara. Tapi siapa yang bisa menolak hadirnya cinta. #tsurhat

Kini saya sudah bisa berdamai dengan masa lalu. Sudah move on. Masing-masing kami pun sudah dewasa, menikah, sudah punya anak.

Meski kata orang, mantan makin cakep setelah jadi milik orang lain, saya ndak ada niatan untuk CLBK. Sekali-kali tidak. Lelaki sejati tak kan pernah sanggup mendua. Semua masa lalu itu saya anggap sebagai pelajaran hidup yang memperkaya jiwa.

Saya yakin, semua yang pernah muda, pasti punya rasa suka pada lawan jenis. Iya kan? Itu normal kok. Bayangkan seandainya waktu itu saya naksir Bambang atau Widodo, tentu ini pukulan berat bagi orang tua saya.

Dan pada akhirnya, pasangan yang kita miliki sekarang adalah yang terbaik. Harus dijaga, disyukuri dan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tak usah dibanding-bandingkan. Jangan terlalu tenggelam dengan masa lalu.

Tabik

Sekolah Harus Mahal?

Sudah dua kali anak saya pindah sekolah, sewaktu TK dan SD. Ini terjadi karna saya pindah kerja ke kota lain. Membayangkan dia harus adaptasi dengan lingkungan baru, menghadapi kurikulum yang tidak sama, serta harus meninggalkan teman-teman akrab di sekolah lama, saya jadi kasihan.

Tentu bukan hal mudah bagi anak sekecil itu. Namun kecemasan itu sirna, saat melihat  dia disambut teman-teman barunya dan pulang sekolah dengan wajah berseri. Sudah punya teman baru, kata anak saya. Hamdalah

Saya berharap, justru karna sering pindah-pindah inilah, anak saya bisa mendapatkan pelajaran baru dalam kehidupan yang mungkin tidak ia dapatkan di sekolah. Tentang bagaimana bersosialisasi, bertahan hidup dan memecahkan sebuah masalah. Sebab setiap orang adalah guru. Setiap tempat adalah sekolah dan setiap hari adalah proses belajar.

Sebelum memilih sekolah yang baru, saya berembuk dengan istri. Dan tentu saja dengan anak-anak. Saya tak mau asal memilih sekolah. Tugas orang tua memang memberikan yang terbaik buat anak. Terbaik bukan berarti mahal. Asal mahal, asal ikut-ikutan teman atau asal merknya bagus.

Ada mitos, semakin mahal sekolahan semakin bagus kualitasnya. Ini tak sepenuhnya benar. Saya justru percaya, semakin panjang titel sekolahannya, semakin besar iurannya. Tengok saja RSBI, sekolah alam, sekolah otak kanan, sekolah model, sekolah standar nasional atau sekolah terpadu.

Kenapa sih sekolah itu jadi mahal? Karna gaji gurunya tinggi, fasilitasnya lengkap, metodenya bagus, bukunya mahal…., atau karna gengsinya?

bydbsojcyaan5tn-jpg-large

ini bayarnya pakai duit atau daun?

Menurut saya, ada beberapa hal yang bikin sekolah mahal. Yang pertama karna para orang tua menganggap sekolah adalah penitipan anak. Anaknya full day school, ortunya full day at office. Orang tua gak perlu repot, malam tinggal nyuruh si anak tidur aja. Di mana peran orang tua dalam mendidik anak, jika semua dipasrahkan ke sekolah?

Berikutnya, karena orang tua menjadikan sekolah sebagai investasi yang diharapkan bisa balik modal bahkan untung. Kalau sekolah di sini, biar bisa jadi ini, bisa kerja di situ. Kalau anaknya malah tambah stress di sekolahan, ortunya juga makin pusing karena bayarnya mahal, ini kan malah berabe.

Pendidikan adalah kebutuhan, sekolah keren mahal hanyalah keinginan para orang tua. Keberhasilan anak bukan hanya ditentukan sekolah. Faktor lingkungan dan keluarga juga punya andil yang sangat besar. Harus ada sinergi yang baik antara ketiganya.

Yang masih menjadi pertanyaan saya sampai sekarang adalah, kenapa yang dulunya menempuh pendidikan di sekolah biasa, dan bahkan bandel, bawa buku cuma sebiji, ditaruh di belakang baju; justru “jadi orang”. Gak habis pikir saya. Itu karna hasil pendidikan, nasib atau takdir?

 

Lelaki Sejati Berani Ambil Raport

Kalau lagi pembagian raport anak, saya suka heran. Ini kondangan apa acara sekolahan sih. Ibu-ibu wali murid kok menor banget, dandan habis-habisan, full aksesoris. Apa mereka gak sadar, make up yang berlebihan justru bikin bapak-bapak undangan yang lain grogi dan keringetan. Sekalian mau pamer kekayaan? Mungkin juga sih. Wanita memang susah ditebak. Trus semuanya saling diam, sibuk dengan gawainya, sedikit sekali yang ngobrol.

Dan entah mengapa, jumlah bapak-bapak yang hadir selalu lebih sedikit dibanding ibu-ibu. Para ayah sedang larut dengan pekerjaannya hingga tak hadir di moment spesial sang anak. Dikiranya kalau sudah ngasih materi selesai urusan. Tidak, sekali-kali tidak. Justru ini akan menjadi sumber penyesalan terbesar kelak di kemudian hari. Makanya saya berusaha hadir meski sedang sibuk-sibuknya bekerja. Soalnya belum syah jadi ayah jika belum pernah ambilin raport.
Baca Selengkapnya